
PENDAHULUAN.
Keberadaan suatu angkatan bersenjata tidak akan terlepas dari
struktur formal negara. Terkait dengan hal tersebut Thomas Hobbes, salah
satu ahli teori kenegaraan ternama, menyatakan bahwa tujuan pendirian
negara utamanya adalah untuk memberikan rasa aman; dalam pelaksanaannya
negara lalu membentuk angkatan bersenjata untuk menjaga keamanan dan
kedaulatannya.
Globalisasi
dan batas negara yang semakin sumir saat ini menyebabkan semakin
kompleks juga bentuk ancaman terhadap keamanan suatu negara. Secara umum
terjadi pergeseran persepsi ancaman terhadap keamanan suatu negara yang
tidak melulu berasal dari ancaman yang bersifat militer. Akan tetapi,
dimensi ancaman yang kompleks tidak lantas menghilangkan hakekat
proyeksi pembangunan kekuatan militer karena sejarah secara dominan
telah membuktikan bahwa dalam menghadapi ancaman militer jalan terbaik
adalah apabila dihadapi secara militer, sebaliknya dalam menghadapi
ancaman yang bersifat nirmiliter metode yang terbaik adalah menempuh
solusi yang juga sifatnya nirmiliter.
Akan
tetapi pandangan ini juga tidak berdiri secara eksklusif. Dalam
prakteknya militer sering dilibatkan dalam penanganan masalah-masalah
yang bersifat nirmiliter. Hal ini terkait dengan keunggulan militer yang
memiliki struktur komando dan pengendalian dengan hirarki yang tegas
serta dukungan sumber daya yang dapat dimobilisasi dengan cepat. Saat
ini militer sangat sering dilibatkan untuk menangani ancaman yang
berasal dari gangguan nirmiliter seperti penanganan bencana alam,
menangani ancaman keamanan dan ketertiban dalam negeri maupun kejahatan
transnasional.
Dalam rangka menyampaikan ide tulisan ini, maka pendekatan terhadap
fungsi angkatan bersenjata, khususnya Angkatan Darat, dilihat secara
dominan dari kacamata proyeksi penggunaan kekuatan dalam rangka
menghadapi ancaman bersenjata terhadap kedaulatan dan integritas wilayah
negara dari agresi, aneksasi wilayah maupun separatisme dan
pemberontakan. Lalu secara khusus tulisan ini akan berdiskusi tentang
upaya transformasi bidang latihan dalam lingkungan Angkatan Darat
sebagai bagian integral dari transformasi TNI AD menuju menjadi kekuatan
yang memiliki orientasi “outward looking”
yaitu TNI AD yang diawaki oleh personel yang profesional dengan
didukung Alutsista yang modern, sehingga memiliki efek tangkal yang
tinggi dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan dan kelangsungan hidup
negara.
PERANG : SIFAT DAN KARAKTER.
Berbicara tentang tugas utama militer tidak akan bisa lepas
dari pembinaan kekuatan dan kemampuan untuk dapat memenangkan suatu
perang. Konsep “Si vis pacem para bellum”
atau “Bila ingin damai, bersiaplah untuk perang” merupakan konsep pikir
yang sudah diperkenalkan sejak jaman Plato. Perjalanan sejarah telah
membuktikan bahwa pemikiran ini banyak mendasari keputusan para panglima
dan pimpinan negara untuk berperang dengan negara lain.
Konsep ini jugalah yang hingga sekarang mendasari para pemikir
militer untuk senantiasa berkontemplasi dalam membangun kekuatan dan
meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan perang dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pemikiran yang sama juga
tidak dipungkiri telah menginspirasi perkembangan generasi perang mulai
dari generasi pertama (1st generation warfare) hingga perang generasi keempat (4th generation warfare).
Dalam upaya untuk memperoleh pengertian tentang perang ini
selanjutnya kita juga perlu memahami tentang sifat perang (the nature of war) dan karakter perang (the character of war).
Penganut teori Clausewitz (Clausewitzian) mengambil kesimpulan bahwa
perang, apapun itu bentuknya (agresi, aneksasi, perang saudara ataupun
intervensi militer), memiliki sifat (nature)
yang konstan, universal dan mengandung nilai yang tetap sepanjang masa
yaitu melibatkan penggunaan kekerasan, memiliki kesempatan menang atau
kalah serta penuh dengan unsur ketidakpastian dalam medan peperangan.
Dalam teori yang sama Clausewitz juga menyatakan bahwa prasyarat suatu
pihak dapat diindikasikan kalah dalam suatu perang adalah meliputi
kehancuran angkatan bersenjata, Ibu kota dikuasai musuh, dan sekutu yang
ingin membantu dipukul mundur oleh lawan.
Pernyataan ini semakin memperkuat pemahaman bahwa dalam pelaksanaan
suatu perang akan terjadi kekejaman, kehancuran dan pemaksaan kehendak
dari pihak yang menang terhadap pihak yang kalah.Terkait dengan karakter
perang, keberadaannya sangat tergantung dari banyak faktor sesuai
dengan perkembangan yang terjadi di dunia. Teori Clausewitz dan pengamat
militer kontemporer Collin Gray menjelaskan bahwa karakter perang
memiliki sifat yang tidak tetap, berkembang sesuai keadaan dan
beradaptasi sesuai jamannya. Hal inilah yang telah ditangkap dalam
penggolongan generasi perang yang dikenal luas saat ini. Penggolongan
ini pada dasarnya merupakan upaya untuk memeroleh pengertian tentang
karakter perang yang harus dihadapi guna memperoleh solusi yang terbaik
untuk memenangkannya. Karakter perang akan sangat terpengaruh oleh
perkembangan keadaan sosial politik dan pengalaman dari sejarah. Dalam
hal ini maka perkembangan teknologi, transportasi dan komunikasi akan
sangat berpengaruh dalam membentuk karakter perang yang mungkin terjadi
saat ini dan dimasa yang akan datang.
TRANSFORMASI MILITER.
Menilik dari sudut pandang etimologi maka istilah
transformasi yang kita sadur dari kata transform memiliki arti sebagai
“suatu perubahan yang terlihat dengan jelas dalam bentuk tampilan
ataupun ukuran”. Transformasi dalam tubuh militer selanjutnya dapat
dijabarkan sebagai penerapan konsep doktrin, organisasi serta teknologi
baru dalam suatu angkatan bersenjata. Konsep transformasi di lingkungan
militer telah dikenal sejak lama, akan tetapi tidak dapat dipungkiri
bahwa diseminasi transformasi militer yang saat ini terjadi secara
global banyak terinspirasi dari proses transformasi yang sudah
dilaksanakan secara sistematis oleh militer Amerika Serikat. Dalam masa
kepemimpinannya sebagai US Army Chieff of Staff,
Jenderal Peter Schoomaker pada tahun 2006 menyatakan bahwa proses
transformasi dalam tubuh angkatan darat Amerika Serikat adalah penting
guna mempertahankan kondisi angkatan darat yang diawaki oleh personel
dengan jumlah yang cukup, didukung alutsista yang modern dan dilatih
dengan baik. Proses transformasi yang berorientasi pada pelaksanaan
tugas yang akan dihadapi ini juga dengan jelas pada pernyataan beliau
saat dengar pendapat dengan parlemen Amerika Serikat seperti kutipan
dibawah ini :
“The
Army is steadfast in its determination to transform the total force
from a Cold War structured organization into one best prepared to
operate across the full spectrum of conflict. This effort includes
modernization, modular conversion, rebalancing our forces across the
active and reserve components, and a force generation model that
provides for continuous operations.”
Dari pernyataan yang digaris bawahi dapat diambil kesimpulan
bahwa proses transformasi di lingkungan angkatan darat Amerika Serikat
sangat dipengaruhi oleh kemungkinan penugasan yang dihadapi, terutama
setelah adanya pergeseran dari masa perang dingin yang terkonsentrasi
pada pengembangan kekuatan perang total (konvensional?) menjadi kekuatan
yang lebih siap menghadapi konflik multi spektrum yang menuntut
kemampuan operasional yang adaptif sesuai dengan perkembangan situasi
dan lingkungan pertempuran.
Visualisasi Konsep transformasi US Army
juga dengan jelas memperlihatkan kompleksnya implikasi dan proses
transformasi. Secara umum proses transformasi dilaksanakan sebagai upaya
untuk tetap dapat menyediakan kekuatan angkatan bersenjata yang relevan
dan selalu siap dalam menghadapi kemungkinan ancaman yang beragam pada
abad ke-21 yang semakin kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.
Angkatan Darat sebagai bagian dari militer Amerika Serikat secara umum
merupakan salah satu pelaksana strategi militer Amerika Serikat sehingga
harus mengembangkan kemampuan interoperabilitas yang baik dalam
melaksanakan tugas-tugas matra gabungan.
Satu hal menarik yang dapat kita lihat bahwa US Army
juga mempertimbangkan kondisi proses bisnis yang sangat memengaruhi
proses transformasi. Hal ini dapat dimengerti dengan pemahaman konsep
pengembangan pertahanan “reality based”.
Pengembangan pertahanan tak akan pernah terlepas dari proses ekonomi
akuisisi kemampuan pertahanan dan akan sangat bergantung pada kondisi
ekonomi suatu negara.
TRANSFORMASI TNI AD.
Berbicara tentang konsep transformasi TNI AD tidak akan
terlepas dari konsep transformasi TNI secara umum. Hal utama yang
menjadi dasar pemikiran tentang transformasi di lingkungan TNI dan TNI
AD pasca reformasi internal adalah kebijakan negara untuk mengubah
orientasi pengembangan pertahanan yang semula berorientasi menyelesaikan
masalah keamanan dalam negeri (inward looking) menjadi pembangunan pertahanan yang juga mempertimbangkan faktor ancaman dari luar (outward looking)
guna memberikan efek deteren yang kuat. Hal ini hanya dapat dicapai
apabila kondisi Alutsista TNI AD sudah sesuai dengan perkembangan
teknologi modern.
Selain itu, tugas-tugas
pertahanan dalam negeri, yakni dalam kerangka mengatasi konflik yang
berdimensi keutuhan wilayah NKRI, menjaga perbatasan dan pulau-pulau
terluar Indonesia serta membantu pemerintah dalam penanganan dampak
bencana alam di sejumlah daerah semakin menyadarkan betapa pentingnya
kesiap-siagaan pertahanan, baik personel maupun Alutsista.
Dengan dasar pemikiran tersebut dapat dijabarkan bahwa
transformasi TNI AD harus diarahkan untuk dapat meningkatkan kemampuan
TNI AD melaksanakan tugas-tugas yang saling berkaitan baik itu dalam
kerangka OMP maupun OMSP. Terkait dengan perkembangan terkini dimana
interaksi antar negara merupakan salah satu faktor yang krusial maka
tugas-tugas yang terkait dengan interaksi TNI AD dengan angkatan darat
negara lain di dunia, diluar tugasnya untuk ikut aktif dalam perdamaian
dunia dalam kerangka pasukan keamanan PBB, dapat juga diperhitungkan
sebagai faktor dominan penentu keberhasilan transformsi di tubuh TNI AD.
Interaksi dengan angkatan darat negara lain baik itu regional maupun
internasional merupakan hal yang mutlak apabila TNI AD ingin mendapat
pengakuan sebagai tentara kelas dunia (world class army).
Urgensi lain yang membuat interaksi luar negeri ini cukup penting
adalah proses transformasi TNI AD sendiri. Tidak perlu malu mengakui
bahwa dalam hal modernisasi Alutsista kita masih tertinggal dari
beberapa negara tetangga. Untuk itulah kita manfaatkan komunikasi yang
baik dengan angkatan darat negara sahabat agar memeroleh manfaat berupa
pertukaran pengalaman dan ilmu pengetahuan. Harus dimengerti bahwa
proses integrasi suatu Alutsista dalam kemampuan TNI AD merupakan proses
yang gradual. Pembelajaran dari negara lain dapat mencegah kesalahan
ataupun memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi saat pengintegrasian
Alutsista baru tersebut dalam operasional TNI AD. Sebagai contoh,
negara seperti Singapura dan Australia sudah memiliki pengalaman tentang
Main Battle Tank (MBT), sehingga banyak pelajaran yang dapat diambil TNI AD.
Tidak hanya dalam bidang Alutsista, kita juga dapat belajar tentang
proses pengembangan doktrin maupun pengalaman operasi negara-negara
lain yang mungkin tidak akan pernah diperoleh oleh TNI AD. Salah satu
contohnya adalah kita dapat belajar tentang perang menghadapi insurjensi
di Iraq dan Afghanistan dari pengalaman Amerika Serikat maupun
Australia, baik itu keberhasilan maupun kegagalannya. Sharing pengalaman
seperti ini nantinya diharapkan akan dapat memberikan kontribusi
positif dalam proses pengembangan taktik dan doktrin tempur TNI AD.
Lalu bagaimanakah pentahapan transformasi TNI AD yang dapat
memberikan hasil yang optimal? Secara logis proses transformasi TNI AD
harus selaras dengan kebijakan pertahanan pemerintah yang saat ini
dilaksanakan dalam format minimum Essential Force
(MEF). Sesuai dengan pentahapan MEF, yang merupakan upaya untuk
mengoptimalkan pengembangan pertahanan negara dihadapkan pada
keterbatasan anggaran pertahanan negara, maka proses transformasi TNI AD
seharusnya disesuaikan pula dengan pentahapan pencapaian sasaran MEF
yang dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, konsep pengembangan force to-risk-ratio
tahun 2010-2014. Pada tahap ini sasaran Penyelenggaraan Pertahanan
adalah terwujudnya kondisi aman dan damai di seluruh wilayah nusantara.
Titik berat transformasi TNI AD dalam tahap ini diantaranya dapat
dilakukan melalui reorganisasi Satpur dan Satbanpur yang memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalah keamanan di beberapa trouble spot
di wilayah Indonesia. Mengingat karakter Indonesia yang rawan terhadap
bencana, kemampuan yang mendukung tugas penanggulangan bencana juga
mutlak dikembangkan. Inisiatif lain yang dapat dilakukan adalah
peningkatan kemampuan mobilitas udara yang dapat meningkatkan kecepatan
respon TNI AD.
Kedua, konsep pengembangan force to-space-ratio
tahun 2015-2019. Pada tahap ini sasaran yang dicapai adalah kemampuan
Pertahanan Negara, termasuk keamanan dalam negeri yang makin menguat
yang ditandai dengan terbangunnya profesionalisme lembaga Pertahanan
Negara serta meningkatnya kesejahteraan prajurit serta ketersediaan
Alutsista TNI melalui pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri.
Pada Tahap II, sasaran pembangunan kekuatan TNI AD untuk melanjutkan
pemantapan Satpur dan Banpur, baik dari segi pemenuhan TOP yang
disesuaikan dengan perkembangan bidang militer (Revolution in Military Affairs)
maupun interoperability dalam kerangka Tri-Matra Terpadu. Disposisi
kekuatan secara merata merupakan hal mendasar untuk menjamin coverage
terhadap seluruh wilayah NKRI. Penguasaan wilayah tidak secara fisik
juga menjadi pertimbangan dalam peningkatan kemampuan jangkauan tembakan
senjata lintas lengkung untuk dapat mencapai batas-batas terluar
wilayah NKRI untuk pertahanan dari ancaman luar.
Ketiga, konsep pengembangan force to-force-ratio
tahun 2020-2024. Pada tahap ini sasarannya adalah terwujudnya rasa aman
dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah NKRI
dan kedaulatan negara baik dari ancaman luar dan dalam negeri, yang
didukung oleh mantapnya kemampuan pertahanan dan keamanan negara yang
ditandai oleh terwujudnya TNI yang profesional dengan Komponen Cadangan
dan Komponen Pendukung yang kuat serta terwujudnya sinergi kinerja dalam
bidang keamanan, intelijen, dan kontraintelijen yang efektif, disertai
kemampuan industri pertahanan yang andal. Pada tahap ini sasaran
pembangunan kekuatan TNI AD untuk menuntaskan pemantapan Satpur dan
Banpur yang ditandai dengan tuntasnya pemenuhan TOP yang disesuaikan
dengan perkembangan bidang militer (Revolution in Military Affairs), serta semakin berfungsinya interoperability antar-angkatan.
Keempat,
tahap akhir yaitu pembangunan postur pertahanan yang sudah sejalan
dengan perkembangan terkini dalam penerapan teknologi militer (Revolution in Military Affairs).
Dalam tahap ini, yang diharapkan untuk dicapai pada tahun 2050, TNI AD
sudah benar-benar berdiri sejajar dengan angkatan darat negara lain di
dunia dengan menerapkan teknologi paling mutakhir hingga nano technology dalam kemampuan dan sistem tempurnya.9
TRANSFORMASI TNI AD BIDANG LATIHAN.
Sesuai dengan tujuan akhir dari Minimum Essential Force
diharapkan pada tahun 2024 telah tercapai kekuatan minimum TNI AD yang
memiliki daya tangkal untuk dapat memelihara keamanan Indonesia dari
dalam dan luar negeri dengan dukungan Alutsista yang modern dan sesuai
dengan perkembangan jaman. Terkait dengan hal tersebut maka sejak tahap I
pembangunan MEF ini TNI AD harus sudah mulai mensinergikan proses
transformasinya sejalan dengan tahapan kebijakan pembangunan pertahanan
negara. Transformasi ini juga harus dilakukan sebagai satu kesatuan yang
utuh dan saling bergantung satu dengan yang lain baik itu dibidang
doktrin, organisasi, latihan, materiil/Alutsista, kepemimpinan dan
personel; sejalan dengan industri pertahanan.
Berbicara tentang latihan akan sangat dipengaruhi oleh salah satu
premis yang menyatakan bahwa “latihkanlah apa yang akan dilakukan”.
Suatu pernyataan logis yang selanjutnya harus dijabarkan dengan
pemikiran yang mendalam. Sebagai hal yang sudah diketahui bersama,
latihan dalam lingkungan TNI AD dilaksanakan untuk memberikan,
memelihara maupun meningkatkan kemampuan prajurit maupun satuan TNI AD
untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dalam rangka mendukung
tugas-tugas TNI AD. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa proyeksi utama
penggunaan angkatan darat adalah dalam keadaan perang. Dari tinjauan
sifat perang (nature of war) dan karakter perang (character of war) maka transformasi yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Pertama, tinjauan dari Sifat Perang (Nature of War).
Sifat perang akan tetap sama sepanjang masa, yaitu melibatkan
kekerasan, kejam, ada kemungkinan menang atau kalah serta penuh dengan
ketidakpastian. Terkait dengan hal tersebut, maka latihan yang akan
dilaksanakan tetap tidak boleh menyampingkan nilai-nilai keprajuritan
yang paling mendasar, seperti semangat pantang menyerah, tahan
menderita, berani, daya juang serta loyalitas yang tidak tergoyahkan
kepada negara. Hal ini dilaksanakan dengan tetap mengimplementasikan
latihan-latihan yang keras baik itu dari segi fisik dan mental untuk
dapat membentuk prajurit TNI AD yang tangguh.
Konsistensi dalam melaksanakan latihan yang menuntut ketahanan
fisik dan mental ini penting mengingat pentingnya kualitas perorangan
prajurit sebagai kombatan dalam kondisi wilayah pertempuran maupun
konflik yang penuh dengan tantangan. Ini juga tidak berarti kita akan
tetap bertahan sebagai tentara tradisional, karena penerapan kemajuan
teknologi juga akan sangat penting sebagai pengganda kekuatan prajurit (force multiplier). Pentingnya mempertahankan kemampuan dasar prajurit bahkan sudah diakui oleh angkatan darat modern seperti US Army. Saat ini US Army sudah memperkenalkan sistem pertempuran berbasis jaringan (network-centric battle system)
yang dalam beberapa sisi sangat menguntungkan untuk dapat bertempur
dengan kesenjataan dan matra gabungan. Sistem ini memberikan
interoperabilitas dan kodal yang sangat baik, akan tetapi kajian
terakhir menyebutkan bahwa sistem ini memiliki kerawanan terhadap
terjadinya disorientasi dan kehilangan semangat tempur prajurit saat
seluruh teknologi pendukungnya tidak berfungsi.
Kedua, tinjauan dari Karakter Perang (Character of War).
Dari tinjauan karakter perang, maka transformasi dibidang latihan dapat
dilaksanakan sesuai dengan perkembangan teknologi terakhir yang
penerapannya disesuaikan dengan proyeksi penugasan dan karakter unik
wilayah pertahanan Indonesia. Konsep latihan di TNI AD saat ini sudah
cukup komprehensif dalam menghadapi proyeksi kemungkinan penugasan di
masa yang akan datang. Adanya konsep Batalyon Tim Pertempuran (BTP)
dalam OLI dan Operasi Pertahanan secara umum telah dapat melatihkan
tugas yang akan dilaksanakan oleh TNI AD dalam kerangka OMP dan OMSP.
Secara umum transformasi
latihan akan sangat bergantung kepada faktor-faktor lain terutama
doktrin serta Alutsista yang dimiliki TNI AD. Salah satu hal yang urgen
saat ini adalah adanya gelombang Alutsista baru yang akan memasuki
lingkungan TNI AD. Kenyataan ini perlu ditindak lanjuti dengan latihan
yang tidak hanya parsial dalam melatih penggunaan Alutsista yang baru
tersebut. Akan tetapi juga perlu melatihkan penggunaan Alutsista
tersebut secara terintegrasi untuk meningkatkan daya gempur satuan TNI
AD dalam pertempuran.
Terkait dengan pembelian Alutsista baru baik itu helikopter tempur, tank tempur utama (Main Battle Tank/MBT),
meriam Artileri medan dan meriam Pertahanan Udara, maka perubahan
doktrin merupakan hal utama yang menjadi dasar terlaksananya tranformasi
latihan di lingkungan TNI AD. Doktrin perang akan sangat menentukan
taktik dan teknik yang harus dilatihkan kepada prajurit dan satuan TNI
AD dalam rangka meningkatkan kemampuan tempur TNI AD secara terintegrasi
dengan menggabungkan keunggulan personel yang profesional dan terlatih
serta dilengkapi dengan dukungan alutsista yang modern.
Adanya pemikiran untuk membentuk struktur organisasi dalam bentuk
Brigade Gabungan Kesenjataan secara langsung juga akan sangat
berpengaruh terhadap pembinaan latihan di lingkungan TNI AD.
Perkembangan ini akan menuntut peningkatan dalam skala latihan dari
latihan tingkat Batalyon Tim Pertempuran yang terdiri dari batalyon
infanteri yang diperkuat oleh satuan bantuan tempur yang nonorganik
menjadi latihan tingkat brigade yang terdiri dari satuan tempur dan
satuan bantuan tempur serta satuan pendukung yang keseluruhnya merupakan
organik dari satu brigade.
Tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang struktur Brigade
Kesenjataan Gabungan akan berkembang menjadi pola penyusunan organisasi
TNI AD di masa depan. Pertimbangan dari pembentukan satuan komposit ini
adalah guna menjamin kesiapan operasional satuan dihadapkan pada
penugasan dan pada saat yang bersamaan juga akan meningkatkan integritas
satuan. Transformasi latihan ini secara umum lalu akan diaplikasikan
kedalam komponen latihan untuk memberikan hasil yang optimal. Hal ini
dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama,
Pelatih. Pelatih yang mengawasi jalannya latihan harus memiliki
referensi yang terbaik dari dalam maupun luar negeri. Bukan untuk
sekedar meniru akan tetapi untuk memperkaya khasanah pemberian materi
dalam latihan. Kedua,
Pelaku. Pelaku harus diberikan keleluasaan dalam mengambil keputusan
terkait dengan Cara Bertindak yang dipilih saat latihan. Jangan ada lagi
“jawaban sekolah” dalam setiap persoalan, karena tidak ada yang pasti
di medan pertempuran. Ketiga,
Metode. Metode dalam latihan harus bisa memberikan realisme dan
atmosfir dinamisnya medan pertempuran dengan kemungkinan besar untuk
terjadi di daerah pemukiman. Penggunaan “Red Force”
atau pasukan penimbul situasi harus seoptimal mungkin menambah dinamika
dan menginspirasi pelaku latihan untuk bereaksi di lapangan sesuai
dengan pedoman taktik yang dimiliki. Keempat,
Rencana Latihan. Rencana latihan sudah harus mempertimbangkan faktor
penduduk dalam skenario latihan, sehingga tidak ada skenario latihan
yang benar-benar di daerah kosong tak berpenghuni. Kelima,
Program Latihan. Program latihan harus dapat memberikan keleluasaan
kepada unsur komandan untuk mengembangkan inisiatif dan menentukan cara
bertindak sesuai dengan kondisi riil di medan latihan. Keenam,
Doktrin. Doktrin yang lebih bersifat universal dan menginspirasi dari
pada dogmatis merupakan salah satu hal penting untuk mendorong
transformasi guna menghasilkan latihan yang realistis dan bisa
memberikan hasil yang diinginkan. Ketujuh,
Sarana Prasarana. Transformasi latihan tentu saja menuntut kualitas
sarana dan prasarana latihan yang senantiasa siap mendukung pelaksanaan
latihan dalam rangka meningkatkan profesionalisme prajurit. Kedelapan,
Pendukung Latihan. Satuan pendukung selama latihan harus benar-benar
dapat melaksanakan fungsinya sesuai perannya membantu pelaksanaan
latihan seperti peran yang akan diemban di medan pertempuran. Kesembilan,
Dukungan anggaran. Anggaran latihan harus benar-benar dapat menunjang
pelaksanaan kegiatan latihan dengan cukup dan tidak kekurangan sesuai
dengan kondisi di daerah masing-masing. Apabila perlu sistem dukungan
anggaran yang ada sekarang dapat dirubah. Sistem anggaran yang ada saat
ini menuntut perencanaan jauh di awal latihan namun dana baru turun
setelah pertanggungjawaban keuangan selesai, sehingga tak jarang satuan
penyelenggara latihan harus berhutang terlebih dahulu untuk dapat
melaksanakan latihan. Sistem anggaran yang baru dapat berupa sistem
pengajuan dana sesuai kebutuhan riil saat latihan dan dana turun
sebelum kegiatan, sehingga dapat langsung digunakan. Kesepuluh,
Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian Latihan. Tidak bertujuan untuk
hanya mencari-cari kesalahan akan tetapi lebih kepada menunjukkan
kekurangan untuk dapat diperbaiki dimasa yang akan datang.
Transformasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemanfaatan
latihan bersama dengan AD negara sahabat sebagai salah satu program
untuk meningkatkan kemampuan operasional. Dengan adanya strategi MEF
maka dalam beberapa hal Alutsista yang dimiliki TNI AD sudah dapat
disetarakan dengan beberapa negara di kawasan ataupun negara adi daya
seperti Amerika Serikat. Terkait dengan hal tersebut maka latihan
bersama dengan angkatan darat negara lain dalam skala besar seharusnya
sudah dapat dipertimbangkan menjadi agenda latihan TNI AD dalam rangka
saling belajar dan berbagi pengalaman dengan angkatan darat negara
sahabat. Sebagai ilustrasi Angkatan Darat Australia membuat siklus
latihannya menjadi siklus 2 tahunan. Siklus latihan tahun pertama
mencapai klimaks pada latihan puncak gabungan antar matra internal
angkatan bersenjata Australia dengan kode “Exercise Hammel”.
Pada tahun pertama ini seluruh latihan satuan diproyeksikan untuk
melatihkan interoperabilitas latihan dalam lingkup matra darat, laut dan
udara Australia. Siklus pada tahun berikutnya adalah siklus untuk
latihan puncak “Talisman Sabre”
yaitu latihan bersama dengan New Zealand dan Amerika Serikat. Pada
tahun ini latihan diarahkan pada lingkup menciptakan interoperabilitas
Trimatra Australia untuk dapat beroperasi dengan kekuatan darat, laut
dan udara negara sekutunya.
KESIMPULAN.
Sesuai dengan hakekat perang yang merupakan upaya
habis-habisan menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki dalam rangka
memaksakan kehendak kepada lawan dan bilamana perlu terkadang harus
menghancurkan lawan maka kekejaman adalah unsur yang sangat dominan
dalam perang. Berkaitan dengan hal tersebut maka latihan terhadap
prajurit harus dapat memberikan efek yang dapat menumbuhkan semangat
pantang menyerah dan tahan menderita dalam rangka mencapai tujuan
nasional. Dengan alasan tersebut maka latihan-latihan yang bertujuan
menumbuhkan dan meningkatkan daya juang tidak perlu dilaksanakan
transformasi karena hal ini tidak akan berubah sepanjang masih adanya
kemungkinan perang di dunia.
Akan tetapi karakter perang akan berubah seiring dengan
perkembangan jaman. Kemajuan teknologi dan persenjataan jelas merupakan
faktor yang sangat dominan terhadap hal tersebut. Perang secara fisik
akan tetap kejam akan tetapi tidak seperti masa silam dimana prajurit
harus berhadap-hadapan langsung secara fisik dan bertarung mati-matian
dengan taruhan nyawa untuk kemudian menyaksikan langsung bagaimana
lawannya meregang maut. Perang saat ini walaupun kejam tidak harus
dilakukan secara berhadapan langsung dengan musuh. Perkembangan
teknologi militer saat ini telah memungkinkan untuk membunuh lawan yang
jaraknya puluhan kilometer dan bahkan antar benua hanya dengan menekan
sebuah tombol.
Terkait dengan hal tersebut transformasi latihan justru sangat
dinamis disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi utamanya dalam
teknologi dan persenjataan. Integrasi kemampuan antar kesenjataan dan
interoperabilitas antar matra ditunjang dengan komando dan pengendalian
yang solid akan dapat bertindak sebagai pengganda kekuatan (force multiplier).
Pengintegrasian kemampuan dan kesenjataan inilah yang nantinya akan
menjadi pertimbangan utama dalam transformasi latihan sambil tetap
menjunjung tinggi peningkatan kualitas personel agar dapat menjadi
prajurit yang profesional.
Globalisasi juga telah membuka kesempatan bagi kerja sama antar
angkatan darat tanpa harus perlu membentuk aliansi militer. Adanya
komunikasi dengan militer asing akan dapat menambah khasanah wawasan dan
pengalaman prajurit TNI AD dalam meningkatkan profesionalisme. Utamanya
dengan kondisi saat ini dimana TNI AD sedang mulai melaksanakan
modernisasi Alutsistanya, maka interaksi dengan AD negara sahabat dalam
bentuk latihan bersama dapat dijadikan sebagai salah satu referensi
tambahan bukan hanya untuk belajar dari pengalaman (Lesson Learned)
tetapi juga sebagai sarana implementasi kemampuan untuk dapat
berkembang sebagai salah satu kekuatan angkatan darat yang diakui dunia (world class army).
Sumber : http://www.tniad.mil.id